Maaf
Maaf
Oleh: Risky Raudlatul Jannah
Terlihat dua orang gadis sedang duduk di pojok kafe yang terletak
di tengah kota. Riasan dan kebaya gaya modern membuat mereka terlihat mencolok.
Namun, mereka tak menghiraukan hal tersebut. Mereka sangat menikmati obrolan
kali ini, sesekali tertawa keras mengalahkan suara musik kafe yang diputar.
Tiba-tiba wajah gadis berkebaya pastel memasang wajah kesal,
mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. “Gue kesel banget sama ayah, pake
dateng segala ke acara wisuda,” ucapnya kesal.
“Gita, lo harusnya bersyukur punya ayah pengertian seperti beliau.
Lo gak perlu marah hanya karena lo gak mau maafin kesalahan beliau setidaknya
lo ngasih kesempatanlah untuk beliau,” balas gadis berkebaya biru langit, “lo
gak berhak ngatain itu dosa besar atau tidak, yang tahu itu cuma Tuhan.”
Termenung. Gadis bernama Gita itu menatap kosong secangkir kopi
yang dipesan beberapa menit yang lalu. Aroma kopinya menguar di indera
penciuman. Menenangkan. Tapi, tidak untuk saat ini. Gita selalu menerima
kalimat itu ribuan kali dari mulut sahabatnya. Namun, kali ini kalimat itu
seolah benar-benar menohok hatinya.
Gita tak merasa sakit hati atas kalimat itu. Jika dirinya berada di
posisi sahabatnya yang sudah tak memiliki sosok ayah, pasti dirinya juga akan
mengatakan kalimat yang sama. Apakah dirinya harus melawan egonya?
Egonya selalu mendukungnya untuk membenci ayahnya. Tak pantas
dikatakan seorang ayah yang telah membunuh anaknya sendiri. Kalimat itu
terngiang-ngiang di kepala seolah-olah telah menancap dengan kuat di pikirannya
dan membuatnya seperti ini. Adiknya meninggal di tangan ayahnya sendiri karena
kecerobohannya dalam menjaga adiknya kala itu.
Dadanya sesak mengingat kejadian kelam itu. Matanya memanas.
Berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang. Menghirup pelan dan mengembuskannya
pelan.
“Gita? Lo gak marah, kan atas kalimat yang gue ucapin tadi?” tanya
gadis itu khawatir. Perasaannya tidak enak.
Anggukan pelan menandakan dirinya baik-baik saja atas kalimat itu. “Gue
gak tahu harus gimana lagi. Terlanjur membenci.”
Gadis itu terdiam, dengan seksama mendengarkan sahabatnya
berbicara. Gita melanjutkan kalimatnya. “Gue benci perlakuan ayah pada adik
sampai hilang nyawanya. Sebagai kakak gue gak terimalah. Kenapa seorang ayah
dengan tega membunuh darah dagingnya sendiri. Gue gak habis pikir, sumpah.
Pokoknya gue benci sama ayah deh, Ky.”
Gadis itu manggut-manggut mendengar sahabatnya mengutarakan isi
hatinya. “Terus kalau lo benci gini, lo mau ngelakuin apa? Membunuh balik? Atau
dengan lo benci beliau, bisa mengembalikan adik lo yang udah tenang di sana?”
“Ya enggak gitu, Kiky,” desah Gita menghela napas kasar.
Gadis yang dipanggil Kiky itu menautkan alis meminta penjelasan
lebih lanjut.
“Oke gue gak mungkin bunuh ayah, gue dendam ya karena kelakuan ayah
yang gak berperikemanusiaan sama anaknya sendir-“ Kiky menyerobot ucapan Gita
dengan cepat.
“Gue tegasin, lo benci kelakuan ayah lo. Tapi, bukan berarti lo
harus benci orangnya juga. Gue benci sama kelakuan lo, yang benci ayah lo
sendiri, tapi gue gak benci sama lo. Paham gak?” terang Kiky gemas. Sudah
lama sekali dirinya ingin mengatakan ini kepada sahabatnya sendiri.
Cecaran kalimat Kiky bak peluru yang menembak satu per satu egonya.
Goyah. Pertahanannya goyah. Terdiam merenungkan apa yang selama ini dilakukan
kepada ayahnya. Ayahnya yang berusaha memperbaiki hubungan dengannya. Bahkan,
tadi dirinya membuang buket bunga pemberian ayahnya di tong sampah depan kafe.
Gita bergegas pergi keluar kafe. Sungguh dirinya sangat sedih jika
buket bunga itu tiada. Hatinya cemas dan berharap bunga itu masih ada. Kiky
memandang heran sahabatnya, tapi ya sudahlah. Kemudian, tangannya mengetikkan
sebuah pesan kepada seseorang untuk menemuinya di kafe ini. Senyumnya
mengembang melihat balasan dari seseorang yang diharapkannya bisa datang.
Kemudian, dirinya menyusul sahabatnya yang entah ke mana. Sebelum
keluar kafe, Kiky menyempatkan berpesan kepada pelayannya dirinya akan keluar
sebentar dan akan kembali. Pelayan itu mengangguk pelan sebelum Kiky
benar-benar lenyap dari pandangannya.
Dari kejauhan terlihat Gita sedang mengacak beberapa tong sampah di
sekitar kafe. Air mukanya terlihat cemas dan bingung. Mata Gita menangkap
sahabatnya dan segera melambaikan tangan.
“Woi, Ky! Bantuin gue,” teriak Gita.
Kiky bergegas melangkah lear menuju Gita berdiri dan menanyakan,
“Lo nyari apaan sih, Git?”
Mata Gita menyapukan pandangannya mencari barang yang dicari.
“Nyari buket bunga yang dikasih ayah gue.”
Pandangan Kiky berhenti tepat pada buket bunga yang ada di tangan
seseorang. Kemudian, menaikkan pandangannya untuk melihat yang memegang bunga
itu. Matanya melotot tak percaya dan memukul bahu Gita yang terus celingukan
mencari.
“Apa sih?!” omel Gita kesal.
“Itu,” balas Kiky tak jelas.
“Apaan?! Gausah gangguin kalau gak penting, gue masih nyari buket bunga!”
bentak Gita semakin kesal. Emosinya sudah memuncak di ubu-ubun, ditambah
kalimat ambigu sahabatnya.
Gemas dengan sahabatnya yang tak segera menoleh. Tangannya meraih
bahu Gita dan menghadapkan pada sosok tua yang memegang buket bunga yang
dicarinya.
Pandangan Gita bertabrakan dengan mata sendu yang selama ini dia
benci. Marah, kecewa, sedih, dan haru campur aduk. Sosok yang masih gagah
dengan setelan jas yang dibelinya beberapa hari yang lalu berdiri tegak di
depannya. Senyumnya mengembang sempurna. Gita merasa tak pantas menampakkan
wajah di depan sosok ini. Egonya merantai kakinya yang sangat ingin memeluk
tubuh ringkih itu.
Kiky perlahan memajukan tubuh sahabatnya agar segera memeluk
ayahnya yang sedari tadi menatap anaknya dengan tatapan sendu. Kaki Gita
perlahan melangkah maju dan seperti ada dorongan entah dari mana, Gita memeluk
tubuh ringkih itu dengan erat dan menumpahkan tangisnya di sana. Tubuh yang
selama ini selalu merindukan peluk hangat seorang ayah.
“Maafkan ayah, Nak,” ucap ayah Gita dengan suara bergetar. Dirinya
sangat senang, buah hatinya mau memeluknya.
Dengan cepat Gita menggeleng, tak setuju dengan ucapan ayahnya.
“Enggak. Gita yang harus minta maaf sama ayah. Maafin kesalahan Gita selama
ini, Yah.”
Tangan tua itu mengelus pelan punggung anaknya dengan penuh kasih
sayang. Kepalanya mengangguk lemah. “Sebagai permintaan maaf ayah, kali ini
ayah traktir kalian berdua sepuasnya.”
Tangis Gita terhenti dan menatap ayahnya dengan mata berbinar.
“Beneran? Ayah traktir aku dan Kiky?”
Sang ayah mengangguk pelan sebelum berjalan menuju kafe dirinya
memberikan buket bunga yang dibelinya di persimpangan jalan sekolah anaknya.
“Ini buket yang kamu cari?”
Gita mengangguk dan menerima dengan hati yang gembira. Kemudian
berjalan dengan riang sembari menggandeng sahabatnya menuju kafe. Dari belakang
sang ayah tersenyum tipis. “Terimakasih, Tuhan. Kesempatan inilah yang aku
harapkan selama ini.”
Oleh: Erje
Editor: Erje
Sumber gambar: pinterest
Comments