FATAH PEMINTA FITRAH




Namaku Fatah. Makhluk Tuhan yang memaksa fitrah di dunia yang fana. Entah apa yang sudah aku kerjakan selama satu tahun ini. Tiba-tiba saja aku terkejut, hari ini adalah hari pertama di bulan syawal. Handphone ku mulai berdering tanpa hentinya. Broadcast memenuhi semua sosial media. Isinya semua mengucapkan selamat hari raya idul fitri lalu kalimat maaf yang dibentuk sedemikian rupa.

Sejak malam pertama ramadhan, tidak sedikitpun aku merasakan suasana ramadhan. Aku terlelap dalam musik-musik rock yang aku mainkan bersama temanku. Pertengahan ramadhan sungguh yang harusnya aku mengikuti sebuah rutinitas religi yang sudah ditetapkan, tapi aku malah pergi pindah antar warung kopi. Ditemani kepulan asap rokok yang tak ada sepinya dan suara-suara yang bersautan antar teman. Satu minggu sebelum hari raya idul fitri, keluarga sudah mulai menanyakan kapan aku ke kampung halaman. Dengan santai aku jawab satu per satu dengan kalimat yang sama, “masih banyak tugas kuliah yang harus aku selesaikan”. Padahal sebenarnya apa yang aku lakukan aku rasa semua itu hal sampah. Entah aku merasa amat sibuk sampai waktu makan saja berantakan. Benar-benar sibuk. Tapi jika ditanya hasil dari kesibukanku, benar aku tidak bisa menunjukkan. Serasa terlilit kesibukan tapi entah sebenarnya apa yang aku lakukan.

Malam ke dua puluh lima ramadhan. Serentak semua berfatwa bahwa itu adalah malam lailatul qadar. Dengan entengnya aku mengatakan “orang yang mengejar lailatul qadar itu orang yang ketahuan banget jarang ibadah. Ngapain juga ngejar-ngejar begituan kalau memang setiap harinya sudah rajin beribadah. Gak bakal deh orang itu takut gak dapet. Lailatul qadar mereka itu cuman buat event-event an doang”. Aku fikir saat itu aku malah yang bodoh mengeluarkan kalimat seperti itu. Padahal sholat wajib saja selalu tidak pernah pas lima waktu. Malam itu malah aku pergi ke tempat wisata bersama teman-temanku. Tidak peduli tentang keindahan lailatul qadar.

Aku malu dengan namaku sendiri. Fatah, yang berarti mulia. Kemuliaan seperti apa aku ini? Menetapkan dan mengubah hukum Tuhan sesuka hati. Lalu meminta maaf kepada manusia di awal bulan syawal. Bukan kepada Tuhan. Malu rasanya. Aku benar tidak menganggap keberadaan Tuhan selama satu tahun ini, kemudian aku meminta untuk kembali fitrah. Tuhan saja tidak aku anggap, bagaimana mungkin Tuhan memberi kesucian-Nya padaku?


Comments