PERNIKAHAN DINI DALAM KACA MATA ISLAM



Oleh : Dinda Ayu Firdayanti
Pendahuluan
Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’.[1]Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya. Misalnya seorang muslim yang kan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.
Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya  sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya.[2] Misalkan seorang muslim yang  mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah.
Hukum Menikah
Menikah mempunyai hukum asal yaitu sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”  (QS An Nisaa` : 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untuk melakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya.
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan  membahayakan agama isteri/suami.
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub).[3]
Hukum Menikah DiniMenikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.  Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
1.      kesiapan ilmu
2.      Kesiapan materi/harta
3.      Kesiapan fisik/kesehatan
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut:
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa Sedangkan Dia Masih Dapat MenjagaDirinya.Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah. Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa Sedangkan Dia Tidak Dapat MenjagaDirinya.Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya.
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi mau bagaimana lagi jika menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1.    kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan.
2.    kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus diwujudkan,
Kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan maka kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan nafsu
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya
7.  Islam melarang seorang wanita melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya
8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya
9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah.



Daftar Rujukan
Shiddiq Muhammad, Pernikahan Dini,. 2001, Yogyakarta.
Ali,  Ash-Shobuni. 2008. Pernikahan Islam. Solo: Mumtaza
Prof. H. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, 1964, Jakarta: Pustaka Mahmudiah, Cetakan   ketiga.


[1] Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19
[2] Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6
[3] Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam

Comments